Daar al Qalam 1, 9 Mei 2025 Aula Daar al Qalam 1 sore itu mendadak ramai. Bukan karena acara seremonial biasa, melainkan sosialisasi Undang-Undang KPU terbaru yang dibawakan langsung oleh Ketua KPU, Septi Wulandari. Kegiatan yang diinisiasi oleh Monasmuda Institute (MI) ini awalnya berjalan tenang hingga satu pengumuman mengejutkan mengguncang seisi ruangan.
Dalam pemaparannya, Septi Wulandari menegaskan bahwa seluruh partai wajib mengikuti ketentuan UU KPU saat mendaftarkan calon presiden, wakil presiden, perdana menteri, maupun ketua parlemen. Namun yang membuat para peserta terhenyak adalah pernyataan terkait perubahan drastis syarat pencalonan pemimpin, khususnya presiden.
Jika sebelumnya seorang calon presiden di Monasmuda wajib hafal minimal 8 juz Al-Qur’an ditambah 3 surah modal, kini persyaratannya dipangkas habis cukup hafal Surah Al-Kahfi, Al-Qashash, dan Yusuf. Tidak ada lagi standar hafalan yang tinggi yang selama ini menjadi simbol intelektualitas dan spiritualitas pemimpin MI.
“Ini sungguh tak disangka. Rasanya seperti mundur jauh dari semangat pendiri Monasmuda dahulu,” ujar salah satu peserta yang enggan disebutkan namanya.
Lebih mengejutkan lagi, revisi besar ini dilakukan secara tertutup oleh Presiden Muhammad Eden Lukmanul Hakim bersama Ketua Parlemen Ayana Waode, tanpa forum terbuka maupun uji publik. Hal ini sontak memunculkan tanda tanya besar: apakah ini bentuk strategi tersembunyi atau kepentingan politik tertentu?
Di tengah kebingungan dan spekulasi yang merebak, muncul suara reflektif dari kalangan disciple masyarakat intelektual MI. Siti Inayah, salah satu peserta, mengungkapkan dua sisi dari perubahan ini.
“Saya pribadi cukup kaget. Tapi saya percaya perubahan ini pasti sudah dipertimbangkan dengan konteks zaman. Hanya saja, tetap perlu ada tokoh yang bisa jadi teladan yang menjaga nilai intelektual masyarakat MI sambil tetap adaptif dan bisa berkarya di luar,” ungkapnya.
Namun pertanyaan besar pun menggantung: apakah penurunan standar ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam membina masyarakat MI yang dulu dikenal unggul secara spiritual dan keilmuan? Banyak yang menilai pemerintahan saat ini belum mampu membangkitkan kembali kejayaan MI di tengah tantangan global dan budaya instan.
Sosialisasi ini bukan hanya membahas peraturan tetapi membuka mata banyak orang tentang arah baru demokrasi di Monasmuda. Apakah ini awal dari penyederhanaan sistem atau justru sinyal bahaya bagi kualitas pemimpin masa depan?
Satu hal yang pasti: masyarakat MI kini menunggu jawaban. Bukan hanya dari pemerintah, tetapi dari semua pihak yang peduli akan masa depan kepemimpinan dan nilai-nilai luhur yang telah lama menjadi identitas Monasmuda.
0 Komentar