Paradoks Penghematan Nasional

Oleh: Bambang Arianto

Pencanangan gerakan penghematan nasional yang pernah diutarakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) seolah-olah hanya gombal politik. Hal itu semenjak di tandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39/2015. Perpres tersebut berisi putusan menaikkan subsidi uang muka untuk pembelian mobil pejabat negara menjadi Rp 210. 890.000. Putusan ini merupakan pengganti dari Perpres Nomor 68/2010 pada era Susilo Bambang Yudhoyono yang menetapkan anggaran uang muka untuk pembelian mobil pejabat negara senilai Rp 116.650.000. 

Rencananya subsidi uang muka diperuntukan bagi anggota DPR (560 orang), anggota DPD (132 orang), hakim agung (40 orang), hakim konstitusi (Sembilan orang), anggota Badan Pemeriksa Keuangan (lima orang), dan anggota Komisi Yudisial (tujuh orang). Keputusan kontroversial itu sontak membuat publik kecewa karena Presiden Jokowi telah menciptakan paradoks penghematan nasional. Alih-alih mencanangkan gerakan penghematan nasional agar rakyatnya berhemat. Ironisnya, Presiden Jokowi justru memanjakan para pejabat negara dengan menaikkan subsidi pembelian mobil baru.

Terlepas dari dalih bahwa usulan menaikan uang muka mobil pejabat adalah inisiatif DPR yang dimasukkan sejak awal Januari 2015. Namun, tidak elok bila Presiden sampai tidak mengetahui isi Perpres tersebut. Hal itu sama saja mengkhianati janji gerakan penghematan nasional. Padahal, publik telah mempercayai langkah Presiden Jokowi dalam gerakan penghematan nasional. Apalagi, Presiden Jokowi telah berupaya mencanangkan gerakan penghematan nasional melaui gerak Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) untuk mengoreksi Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) seluruh daerah di Indonesia.

Langkah taktis tersebut dimulai dengan dicoretnya sejumlah anggaran yang bernilai ratusan miliar yang kerap tidak tepat sasaran. Tentu saja hal ini guna menekan pemborosan dan penyelewengan keuangan negara serta mengefektifkan pembangunan di daerah. Selain itu, koreksi tersebut guna meminimalisir kesalahan dalam alokasi anggaran yang selama ini kerap dimanipulasi oleh oknum-oknum pejabat demi menikmati kue anggaran. Apalagi, selama pelaksanaan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001, dana APBN yang dialokasikan ke daerah terus meningkat dari tahun ke-tahun. Ironisnya, kenaikan anggaran selama ini tidak pernah berbanding lurus dengan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, di beberapa daerah kerap ditemui mata anggaran yang tidak masuk akal.

Alih-alih membangun sarana pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar sejumlah daerah malah membangun gedung-bangunan yang belum jelas kegunaannya bagi masyarakat. Padahal, anggaran daerah sejatinya diarahkan guna menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian daerah. Itulah mengapa, banyak kebijakan-kebijakan dalam penganggaran daerah yang kerap menegasikan rasa keadilan dan kepatutan.

Berdasarkan, data di Badan Pemeriksa Keuangan  (BPK) tahun 2013 menyebutkan, setiap tahun anggaran sekitar Rp 17 triliun untuk belanja PNS dan pejabat di instansi masing-masing. Nyatanya, dana APBN dan APBD konon dipergunakan untuk rapat-rapat di hotel berbintang dalam setiap kegiatan aparatus birokrasi di berbagai level. Padahal, banyak pemerintah daerah yang sudah memiliki aset berupa gedung dan ruang-ruang rapat khusus yang sangat mewah. Nahasnya lagi, gedung-bangunan tersebut tidak pernah digunakan untuk keperluan rapat dan instansi lainnya. Sebab, para aparatus birokrasi lebih memilih menyewa hotel-hotel berbintang dan ruang-ruang bangunan milik swasta untuk mengadakan rapat.

Gaya Hidup

Bobroknya mental para pejabat baik didaerah maupun nasional, lebih disebabkan selama ratusan tahun semenjak terbentuknya elite birokrasi Indonesia yang dibangun Pemerintah Kolonial Belanda telah terbangun habitus hidup mewah. Yang kemudian kerap melahirkan berbagai sikap-perilaku dan kebobrokan mental para birokrat, seperti perilaku suap, mengedepankan jalan pintas dan budaya instan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Jangan sampai, kegagalan gerakan penghematan nasional di era Soekarno karena terbentuknya habitus hidup mewah akan terulang kembali diera pemerintahan Jokowi.

Sebenarnya, tren perubahan gaya hidup mewah merupakan hal yang wajar dalam era modernisasi. Namun, yang tidak wajar adalah, jika dana dan biaya untuk menopang gaya hidup mewah para pejabat Indonesia acapkali dibebankan pada kegiatan instansi pemerintah, lembaga negara, maupun pemerintah daerah setempat. Apalagi, hal itu diperparah dengan minimnya pengawasan dan pengendalian dari pemimpin instansi dan lembaga.

Oleh sebab itu, Presiden Jokowi harus kembali menanamkan filosofi revolusi mental agar dapat menghadirkan para pejabat dan aparatus birokrasi yang benar-benar mengerti serta menjiwai kondisi yang dihadapi rakyat. Jika pemerintahan Jokowi benar-benar serius ingin menjalankan gerakan penghematan nasional. Maka, Presiden Jokowi-Kalla harus kembali mengelorakan kembali gerakan penghematan nasional dengan terlebih dahulu memberikan keteladanan melalui para pejabatnya.

Mengutip, pidato Megawati Soekarnoputri (2015) dalam Kongres IV PDI-Perjuangan yang menyatakan bahwa revolusi mental adalah “gerakan hidup baru” tentang cara berfikir, cara bekerja, dan cara hidup yang lebih baik. Revolusi mental memerlukan pemimpin yang harus melakukan revolusi mental untuk dirinya terlebih dahulu. Artinya, seruan revolusi mental agaknya harus dimulai dari atas, dimulai dari keberanian untuk menghapus kebijakan yang tidak menopang Nawa Cita.

 Walhasil, publik bersyukur dengan dicabutnya Perpres Nomor 39/2015 oleh Presiden Jokowi. Semoga kedepan, tidak ada lagi kebijakan yang paradoks yang dapat membuat rakyat kecewa. Rakyat tetap menantikan Presiden Jokowi dapat konsisten dengan gerakan penghematan nasional agar dapat membangun paradigma yang baru direpublik ini. ***

Penulis adalah Mahasiswa S2 Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) Fisipol UGM, serta Pegiat Forum Penulis Muda Jogja.

Dimuat di Harian Analisa Edisi Sabtu, 9 Mei 2015