Ninik Rahayu: Pembebasan Kebodohan dan Ketidakadilan

Monash-media, Semarang – Monash Institute datangkan Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S., anggota Ombudsman Republik Indonesia untuk berdiskusi mengenai pembebasan kebodohan dan ketidakadilan. Kegiatan ini diramaikan oleh disciples anggkatan 2017-2019 yang digelar di Aula I Monash Institute, Ahad (26/1).

Menurut Ninik, gender bisa diartikan dengan bagaimana seseorang itu diposisikan dan dikondisikan. Gender itu tidak melulu dikaitkan dengan jenis kelamin seseorang. Seringkali perempuan dijadikan sebagai objek. Kerap kali ia diperbudak, mendapatkan kebodohan dan ketidakadilan.

“Perempuan seringkali dijadikan objek, korban ketidakadilan. Orang yang menganggap perempuan sebagai objek yaitu dari “cara pandangnya”.  Yang ada di otak orang yang menjadikan perempuan sebagai objek yaitu hanya ingin menguasai. Sebab ia punya kuasa. Perkosaan diartikan sebagai penaklukan. Penaklukan ini terjadi ketika ada orang yang merasa berkuasa atas orang lain,” jelas Ninik Rahayu.

Ia juga menambahkan,  penaklukan itu terjadi pada seorang bos kepada karyawan, suami kepada istri, dan seorang ibu kepada anak. Hal ini terjadi karena bos, suami, dan ibu tadi merasa berkuasa.

Selain itu, peluang perempuan dibatasi di dunia kerja.  Ia seringkali mendapatkan kesempatan yaang sedikit di ranah publik. Misal, perusahaan akan memprioritaskan laki-laki untuk direkrut daripada perempuan. Sebab, perempuan itu memiliki masa cuti. Ada cuti hamil, menyusui, dan melahirkan. Sehingga hal itu dianggap dapat merugikan perusahaan.

“Perempuan itu harus berani. Ia berani untuk membebaskan dirinya dari kebodohan dan ketidakadilan. Apabila ia merasa tidak berdaya, maka perlu ada pihak lain yang dimintai tolong untuk memperjuangkan kebebasannya. Saya tetap memperjuangkan diri untuk tetap mengenakan jilbab. Padahal pada waktu itu pengggunaan jilbab benar-benar dilarang. Dekan dan dosen-dosen tidak berani untuk ikut campur dengan saya. Berjuang sendirian pun saya tidak apa-apa, meskipun saya  menjadi sorotan banyak orang, dibilang seperti ninja. Toh saya bisa lulus dengan IP tertinggi  dan menjadi lulusan termuda,” ungkap Ninik.

Ia melanjutkan, seorang pemimpin itu tidak harus menunggu jabatan secara struktural yang sifatnya sementara, misal menunggu agar menjadi presiden dulu. Setiap orang adalah pemimpin, meski itu bagi dirinya sendiri. Memipin itu bisa dimulai dari diri sendiri.

“Jangan hanya menunggu menjadi pejabat. Sekecil apapun kesempatan yang kita punya, gunakanlah! Jadilah pionir!  Pemimpin itu penguasa. Adapun tanggung jawab lembaga yaitu, untuk melembagakan  dan mampu  mengembangkan forum-forum yang bisa membebaskan kebodohan,” pesan Ninik kepada disciples Monash Institute. (Red/ANAF)