Ticker

6/recent/ticker-posts

Burung Bungkul dan Dua Sangkar Ambisi







Di tengah panasnya kota, berdiri organisasi pemuda yang sederhana tapi punya tujuan mulia, yaitu KOPIRU. Mereka biasa menggalang dana untuk warga yang terkena bencana, membetulkan jalan rusak, atau sekadar menyapu masjid bersama.

Ketika pemilihan ketua baru diadakan, muncullah Bungkul Beringas, sosok pemuda penuh percaya diri, rambut klimis, dan senyum seperti caleg gagal.

Bungkul (berpidato penuh gaya):
"KOPIRU tak butuh pemimpin biasa. Tapi pemimpin yang luar biasa! Saya hadir bukan untuk memimpin, tapi untuk menginspirasi!"

Semua terdiam. Tak tahu harus tepuk tangan atau mengangkat alis. Tapi karena tidak ada yang mau lagi, Bungkul pun terpilih secara sukarela.

Di awal masa jabatannya, Bungkul rajin datang. Ia menggagas program "Jemput Sampah Jemput Surga", meskipun akhirnya hanya jadi spanduk di warung kopi.

Namun, memasuki bulan kedua, Bungkul mulai berubah. Ia lebih sering nongkrong di warung dengan laptop terbuka (meski tidak terkoneksi Wi-Fi), dan membuat status panjang di media sosial soal "perjuangan sosial dari sudut pandang postmodern".

Rapat mingguan mulai sepi. Proposal kegiatan tak disetujui. Para pengurus mengeluh.

Lalu datanglah alumni yang bernama Gandus Wudhus ke sekretariat KOPIRU yang kini lebih sering kosong daripada terisi.

Gandus: "Kul, kau tahu kapal ini mulai bocor? Kau yang pegang kemudinya, tapi malah selfie di geladak."

Bungkul (sambil mengaduk kopi sachet):
"Tenang, Wudhus. Aku sedang menyusun strategi jangka panjang."

Gandus: "Jangan-jangan strategi panjangnya terlalu panjang, sampai tak terlihat hasilnya."

Suatu hari, Bungkul mendapat undangan dari organisasi KETUPAD. Mereka butuh ketua baru. Bungkul merasa terpanggil.

Bungkul (di depan forum):
"Setelah saya menggerakkan KOPIRU, kini saya siap mencerahkan KETUPAD. Kita bukan hanya harus bersuara, tapi bersuara yang berdampak!"

Sekali lagi, hadirin tidak paham maksudnya. Tapi karena gayanya meyakinkan, ia pun terpilih sebagai ketua KETUPAD.

Kini Bungkul memimpin dua organisasi. Ia merasa seperti Napoleon versi desa.

***

Mengurus dua organisasi bukan perkara mudah, apalagi jika keduanya dibiarkan mengurus dirinya sendiri.

Di KOPIRU, kegiatan bakti sosial batal karena tak ada dana. Bungkul lupa mengurus proposal.
Di KETUPAD, diskusi mingguan berubah jadi forum keluhan. Topik terakhir adalah: "Apa yang terjadi jika pemimpin tak pernah datang?"

Di warung kopi, Bungkul masih aktif menulis status:

"Menjadi pemimpin itu seperti memegang bara. Hanya yang kuat yang mampu bertahan. Dan saya? Saya bukan kuat, saya tahan api."

Gandus, yang membaca status itu, hanya menghela napas:

Gandus (berkomentar):
"Bara itu memang panas. Tapi kalau tak digunakan, cuma bikin gosong tangan sendiri."

Di bulan keenam, rapat gabungan KOPIRU dan KETUPAD diadakan secara mendadak. Tanpa kehadiran Bungkul, para anggota membahas satu hal: mengganti ketua.

Keduanya kompak. Meski berasal dari latar belakang berbeda, tetapi satu sosial, satu debat, keduanya muak dengan pemimpin yang sibuk membangun citra, tapi lupa membangun organisasi.

Dalam waktu singkat, Bungkul resmi digantikan dari dua jabatannya.

Bungkul merasa tidak punya power lagi. Ia segera mencari Gandus yang sedang duduk tenang di bawah pohon randu, ditemani semut dan kopi pahit.

Bungkul: "Wudhus, mereka tidak suka aku!"

Gandus (menyeruput kopi):
"Bukan tidak suka, Bungkul. Itu pembersihan got. Kalau airnya tak mengalir, mereka bersihkan salurannya."

Bungkul: "Aku ingin memberi yang terbaik... tapi mereka tak sabar!"

Gandus: "Kalau kau ingin memberi, ya beri. Bukan janji. Bukan status. Bukan story di media sosial."

Bungkul diam. Angin sore menyapu rambutnya yang kini berantakan. Dua organisasi telah lepas, dan yang tersisa hanyalah ambisi yang tak sempat jadi aksi.

Dan Gandus? Ia tetap duduk di bawah pohon, minum kopi, sambil berujar:

"Yang ingin jadi matahari, kadang lupa belajar jadi lilin dulu. Dan ketika semua padam, ia pun gelap sendiri."

 

Posting Komentar

0 Komentar