Di tengah panasnya kota, berdiri organisasi pemuda
yang sederhana tapi punya tujuan mulia, yaitu KOPIRU. Mereka biasa menggalang
dana untuk warga yang terkena bencana, membetulkan jalan rusak, atau sekadar menyapu
masjid bersama.
Ketika pemilihan ketua baru diadakan, muncullah
Bungkul Beringas, sosok pemuda penuh percaya diri, rambut klimis, dan senyum
seperti caleg gagal.
Bungkul (berpidato penuh gaya):
"KOPIRU tak butuh pemimpin biasa. Tapi pemimpin yang luar biasa! Saya
hadir bukan untuk memimpin, tapi untuk menginspirasi!"
Semua terdiam. Tak tahu harus tepuk tangan atau
mengangkat alis. Tapi karena tidak ada yang mau lagi, Bungkul pun terpilih
secara sukarela.
Di awal masa jabatannya, Bungkul rajin datang. Ia
menggagas program "Jemput Sampah Jemput Surga", meskipun akhirnya
hanya jadi spanduk di warung kopi.
Namun, memasuki bulan kedua, Bungkul mulai
berubah. Ia lebih sering nongkrong di warung dengan laptop terbuka (meski tidak
terkoneksi Wi-Fi), dan membuat status panjang di media sosial soal
"perjuangan sosial dari sudut pandang postmodern".
Rapat mingguan mulai sepi. Proposal kegiatan tak
disetujui. Para pengurus mengeluh.
Lalu datanglah alumni yang bernama Gandus Wudhus ke
sekretariat KOPIRU yang kini lebih sering kosong daripada terisi.
Gandus: "Kul, kau tahu kapal ini mulai bocor?
Kau yang pegang kemudinya, tapi malah selfie di geladak."
Bungkul (sambil mengaduk kopi sachet):
"Tenang, Wudhus. Aku sedang menyusun strategi jangka panjang."
Gandus: "Jangan-jangan strategi panjangnya
terlalu panjang, sampai tak terlihat hasilnya."
Suatu hari, Bungkul mendapat undangan dari
organisasi KETUPAD. Mereka butuh ketua baru. Bungkul merasa terpanggil.
Bungkul (di depan forum):
"Setelah saya menggerakkan KOPIRU, kini saya siap mencerahkan KETUPAD.
Kita bukan hanya harus bersuara, tapi bersuara yang berdampak!"
Sekali lagi, hadirin tidak paham maksudnya. Tapi
karena gayanya meyakinkan, ia pun terpilih sebagai ketua KETUPAD.
Kini Bungkul memimpin dua organisasi. Ia merasa
seperti Napoleon versi desa.
***
Mengurus dua organisasi bukan perkara mudah,
apalagi jika keduanya dibiarkan mengurus dirinya sendiri.
Di KOPIRU, kegiatan bakti sosial batal karena tak
ada dana. Bungkul lupa mengurus proposal.
Di KETUPAD, diskusi mingguan berubah jadi forum keluhan. Topik terakhir adalah:
"Apa yang terjadi jika pemimpin tak pernah datang?"
Di warung kopi, Bungkul masih aktif menulis
status:
"Menjadi pemimpin itu seperti memegang
bara. Hanya yang kuat yang mampu bertahan. Dan saya? Saya bukan kuat, saya
tahan api."
Gandus, yang membaca status itu, hanya menghela
napas:
Gandus (berkomentar):
"Bara itu memang panas. Tapi kalau tak digunakan, cuma bikin gosong tangan
sendiri."
Di bulan keenam, rapat gabungan KOPIRU dan KETUPAD
diadakan secara mendadak. Tanpa kehadiran Bungkul, para anggota membahas satu
hal: mengganti ketua.
Keduanya kompak. Meski berasal dari latar belakang
berbeda, tetapi satu sosial, satu debat, keduanya muak dengan pemimpin yang
sibuk membangun citra, tapi lupa membangun organisasi.
Dalam waktu singkat, Bungkul resmi digantikan dari
dua jabatannya.
Bungkul merasa tidak punya power lagi. Ia segera
mencari Gandus yang sedang duduk tenang di bawah pohon randu, ditemani semut
dan kopi pahit.
Bungkul: "Wudhus, mereka tidak suka
aku!"
Gandus (menyeruput kopi):
"Bukan tidak suka, Bungkul. Itu pembersihan got. Kalau airnya tak
mengalir, mereka bersihkan salurannya."
Bungkul: "Aku ingin memberi yang terbaik...
tapi mereka tak sabar!"
Gandus: "Kalau kau ingin memberi, ya beri.
Bukan janji. Bukan status. Bukan story di media sosial."
Bungkul diam. Angin sore menyapu rambutnya yang
kini berantakan. Dua organisasi telah lepas, dan yang tersisa hanyalah ambisi
yang tak sempat jadi aksi.
Dan Gandus? Ia tetap duduk di bawah pohon, minum
kopi, sambil berujar:
"Yang ingin jadi matahari, kadang lupa
belajar jadi lilin dulu. Dan ketika semua padam, ia pun gelap sendiri."
0 Komentar